WELCOME!!!

Selamat Datang Di Dunia Robinisme.......

Jumat, 28 Januari 2011

Budaya Merokok Di Lingkungan Pesantren

Budaya Merokok Di Lingkungan Pesantren

Budaya adalah suatu bahasan sosial yang tidak ada habisnya. Pasalnya, budaya selalu berubah dan berbeda, baik antar tempat maupun antar generasi. Bahkan budaya memiliki dua nilai sekaligus: positif dan negatif. Diantara budaya yang menarik untuk dikaji adalah budaya merokok di lingkungan pesantren.
Berbicara tentang pesantren, tidak bisa terlepas dari segala perangkat yang ada di dalamnya. Diantara perangkat-perangkat dalam pesantren adalah kiyai, pengurus, dan santri. Dimana kiyai sebagai pemegang otoritas penuh terhadap segala produk hukum dan peraturan- peraturan yang ada. Yang kemudian produk hukum dan peraturan - peraturan tersebut dibantu penerapannya dan ditegakkan oleh pengurus pesantren sebagai pembantu kiyai sekaligus penegak hukum. Dengan para santri sebagai subjek hukum.
Diantara hukum atau peraturan yang dikumandangkan dalam pesantren adalah kewajiban berakhlak mulia. Sebagaimana misi utama nabi terakhir. Bahkan akhlaq mulia menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar bagi jebolan pesantren. Karena akhlaq mulia seharusnya menjadi makanan dan pakaian sehari hari mereka. Akhlaq mulia menjadi semacam trademark yang melekat pada alumni pesantren. Tidak dikatakan alumni yang benar benar alumni bila akhlaq mulia belum melekat pada dirinya.
Tetapi, di lain sisi ada kebiasaan yang sudah tak asing lagi bagi kaum bersarung : merokok. Sudah menjadi  hal yang lumrah bagi penghuni pesantren kebal-kenul disana-sini. Sehabis makan menjadi saat menyalakan udut. Asap putih pun diyakini sebagai penstimulus ide-ide cemerlang. Tak ayal rokok tak bisa terlepas dari kaum bersarung dan berpeci ini.
Hal ini sangat bertolak belakang dari trademark mereka, akhlaq mulia, yang terlanjur menjadi harga mati. Di satu sisi mereka harus bersikap dan berakhlaq yang mulia. Baik terhadap lingkungan, masyarakat sekitar , bahkan terhadap dirinya sendiri. Tetapi di sisi lain rokok terlanjur menjadi suatu keharusan yang tak bisa dihilangkan. Kecanduan yang sulit diobati. Mulai dari tingkat kiyai,pengurus, bahkan kalangan santri. Hampir semua lini kecanduan budaya yang hukumnya masih kontroversial di kalangan mereka ini. Padahal jelas-jelas dunia medis telah banyak berbicara akan bahayanya budaya ini.Dan tidak semua orang suka asap rokok. Dengan menciptakan suasana dan lingkungan yang tidak nyaman bagi sesama, seakan merampas hak dari saudara kita sendiri.  Tetapi bukan santri kalau cepat percaya dan mengindahkan apa kata dunia medis.
Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya ada juga pengasuh pondok pesantren yang mulai sadar akan bahaya budaya ini. Disamping menghambur-hamburkan dana dan masa, kesehatan santri juga menjadi korban. Langkah awal pun dikeluarkan, larangan merokok didalam pesantren. Meski tahapan larangan dimulai dari hal yang kecil, tetapi langkah awal ini berkembang dan menjamur begitu pesat. Pesantren-pesantren lain pun mulai tergerak mengikuti jejak langkah pelarangan rokok dalam pesantren. Ada yang membatasi para santri dari degi tempat, seperti pengadaan smoking area. Bila ketahuan merokok tidak pada tempatnya, sanksi pun tak sangsi untuk dikeluarkan. Ada juga yang membatasi daei sisi waktu, dengan diberlakunya smoking time. Bila kepergok merokok tidak pada waktunya, maka sanksi berbicara. Bahkan ada juga yang membatasi para santri dari batasan usia, dengan diedarkannya SIM (Surat Izin Merokok). Dan seperti pembatasan yang lain, bila kepergok anak dibawah usia merokok, maka sanksi pun mengganjar mereka. Semua ini diberlakukan demi meminimalisir para perokok aktif di lingkungan santri serta para perokok yang dianggap tidak pantas merokok—dibawah umur.
Sanksi dan ‘iqob bagi para pelanggar peraturan merokok pun secara beragam dikeluarkan. Mulai dari digundul, disiram air comberan, disuruh merokok dengan mulut penuh rokok dan tangan terikat di depan para santri, hingga drop out menjadi jalan terakhir. Tetapi santri tetaplah santri dan sanksi tetaplah sanksi. Semboyan mereka, dan mungkin semua remaja nakal, “peraturan ada untuk dilanggar”. Akhirnya, cara sembunyi-sembunyi pun ditempuh. Kamar mandi dan WC yang jelas jelas berbau tak sedap menjadi tempat asyik berasyuk masyuk dengan “asap putih”. Bila acara sembunyi sembunyi kurang berhasil, keluar pondok pada jam efektif pun menjadi alternatif. Semua hal akan dilakukan para smoker sarungan demi tersalurkannya hasrat mereka.
Terlepas dari itu semua, pastilah suatu kebudayaan bermula dari suatu kebiasaan. Dan tak ada kebiasaan tanpa adanya eksperimen (coba-coba). Dalam hal ini, santri berperan sebagai remaja takkan bisa terlewatkan. Sedangkan penasaran dan selalu ingin tahu tak bisa terlepaskan dari remaja. Rasa ini begitu dominan dan intens hingga membuat santri yang sedang remaja ini menabrak semua nilai, norma, hukum, dan peraturan demi terbayarnya rasa penasaran.
Sayang, rasa penasaran itu bisa salah tempat. Sangat beruntung santri remaja yang bisa mengendalikan rasa penasarannya pada hal keilmuan. Sehingga keilmuannya bisa mendalam dan meluas.  Tetapi sangat disayangkan bila rasa penasaran tersebut terslurkan pada hal-hal yang kurang positif, bahkan negatif. Seperti  merokok, bermula dari rasa penasaran, ketagihan ,kecanduan hingga kebiasaan dan membudaya serta mendarah daging. Dalam hal ini kecerdasan remaja diuji. Seberapa besar ia bisa menetukan pilihan dan sikap dalam menyalurkan rasa penasarannya. 
Disamping rasa penasaran, ada faktor lain yang mendorong budaya ini tetap subur : lingkungan dan keadaan yang terlanjur. Dalam pesantren terdapat unsur senioritas yan sudah mengakar. Dimana santri junior terbiasa mengekor dan patuh pada senior. Perkataan dan perilaku para senior selalu ingin ditiru dan ditiru. Hingga para senior menjadi public figure yang selalu disoroti gerak geriknya. Diantara para senior ada yang menjabat sebagai pengurus pesantren atau ustadz dan ada juga yang hanya berstatus sebagai santri  karena kapabilitas yang yang belum mumouni di mata kiyai.
Dari para senior inilah keniasaan merokok di lingkungan pesantren menjadi latah. Para senior, baik yang masih terikat peraturan (santri) atau yang telah terbebas dari ikatan peraturan (pengurus /ustadz), masih banyak yang dengan enaknya merokok di hadapan para santri. Hal ini membuat peraturan pelarangan rokok menjadi lemah. Di satu sisi para ada senior yang menghukum santri merokok di pesantren, tetapi di sisi lain, ada juga senior merokok tidak diapa- apakan. Dan tidak bisa dipungkiri, para santri menjadi tergiur dan kepingin melakukan apa yang mereka lihat dari para senior.
Mungkin ada beberapa senior yang telah menjadi pengurus / ustadz beralasan agar para santri termotivasi belajar lebih giat hingga dipiih kiyai menjadi ustadz/pengurus dan akhirnya terbebas dari peraturan. Tetapi realitas berkata beda, para santri malah kepingin meniru seniornya. Memang ada juga santri yang termotivasi untuk belajar giat demi terbebas dari segala peraturan. Tetapi kelompok ini sangat minim. Kebanyakan dari mereka malah menabrak segala peraturan demi mencontoh seniornya. Percontohan yang mal praktek ini membuat rokok tetap berjaya meski ada peraturan yang melarangnya.
Alasan lain para smoker sarungan tetap keukeuh  merokok di pesantren adalah sebagai penyemangat kegiatan belajar. Mengingat materi hafalan yang berat dan jam kegiatan yang padat, rokok dijadikan refresher akal dan pikiran. Memang ada beberapa santri yang berhasil dengan alasan ini, tetapi tidak sedikit yang gagal karena waktu yang selalu tersita gara gara rokok.
Solusi
Memang rokok tidak bisa terhapus seratus persen lingkungan pesanten. Tetapi paling tidak peraturan pelarangan rokok bisa meminimalisir intensitas merokok dam kuantitas perokok aktif di lingkungan pesantren. Ketika peraturan terlecehkan dan terendahkan, pasti ada something wrong yang terjadi di daerah hukum pesantren.
Seperti yang telah dituturkan di atas bahwa para senior memegang kendali para santri karena mereka bak artis yan selalu disoroti dan ditiru. Maka tingkah laku mereka selayaknya dijaga agar tidak berdampak neatif. Teori ibda’ bi nafsik dalam uswatun hasanah haruslah diterapkan dengan baik. Bagi mereka para senior yang menjabat sebagi pengurus pun begitu. Bukan berarti bebas hukum, mereka bebas berlaku apa saja. Kalaupun kebelet ingin merokok, seharusnya dilampaskan di tempat yang tidak terjangkau oleh santri.
Disamping itu, peraturan atau hukum haruslah diterapkan engan tegas. Tidak memihak, tidak memilah dan memilih dalam memberikan sanksi. Sanksi haruslah bersifat menjerakan dan berimplikasi pada yang lain. Sehingga santri merasa takut untuk menco-coba menyedot dan mengebulakan “asap putih”. Hingga akhirnya budaya yang masih dinilai abu-abu ini bisa terminimalisir dan mendapatkan label ilegal di lingkungan pesantren.  
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar